Jilbab Rara berkibar-kibar kesana kemari diterpa angin pagi, dengan berlari-lari kecil Rara menyusuri jalan menuju ke sekolah karena khawatir pintu gerbang sudah ditutup Pak Basir satpam sekolah, Pak Basir terkenal disiplin waktu dan tidak bisa diajak kompromi.
“Wah gawat nih kalau sampai telat, jam pertama kan mau ada ulangan biologi” gumam Rara sambil terus mempercepat langkahnya. Hari ini Rara memang agak telat pergi ke sekolah karena hari ini adalah hari pertama Rara memakai jilbab, jadi masih belajar mengenakan jilbab, dan memakan waktu lama untuk berada di depan cermin.
Sampai di depan sekolah dilihat Pak Basir mau menutup pintu gerbangnya, spontan Rara teriak “paaaak jangan ditutup dulu ... hhhhh terimakasih... pak Basir baik deh”, sambil terengah-engah Rara mengucapkan terimakasih kepada Pak Basir, dan langsung menuju kelas. Tinggal Pak Basir bengong seperti sapi ompong, sambil bergumam “siapa ya tuh anak? wajahnya kok ga asing…”
Di depan kelas Rara mengucapkan salam, ”assalamualaikum...”, sontak teman-temannya menjawab sambil memandang ke pintu, “Waalaikummmmmsalaaam” serta mereka kaget ketika tau siapa yang mengucapkan salam.
Langsung meluncur berbagai komentar teman-temannya, ada yang takjub ada juga yang iseng, “eh ra rambut lo sekarang botak y” celetuk Radit dan langsung teriak pada Si Kojak Budi teman Rara yang memang botak “Bud, sekarang lo ga usah minder lagi, nih ada temanya sambil nunjuk Rara”, langsung bibir Rara jadi manyun. “Enak aja emang aku botak”, sahut Rara, “Ra lo semalam emang habis kemana, kesambet kali lo”, teriak Irwan dari bangku belakang. “Yahhhh ga asik lagi nih kalau si Rara dah jadi ustadzah”, komentar Budi Kojak. “Ga ada lagi yang traktir gw makan bakso pak kumis, ga ada lagi ketawa lo yang renyah kaya peyeknya bu Romlah, sepi deh dunia”, lanjutnya sambil pasang muka merana. “Iya lo jadi aneh tau pake-pake kaya gitu”, cibir Bobi . “Ahhh si Rara paling Cuma cari sensasi doang, cari perhatian si Ridwan ketua osis kita yang ganteng ..”, sindir Melly dengan ketus. ”Bravo Rara, hebat lo bisa berubah kaya gitu”, komentar Rena. Rara hanya tersenyum mendengar perkataan teman-temannya.
Namun ada suara yang sangat menyejukan hatinya dan menguatkan tekadnya untuk tidak goyah, komentar dari Ilma teman sebangkunya yang dulu dia anggap sebagai mahluk aneh dan tidak gaul. ”Sabar ya semua ini ujian, kamu jadi lebih cantik”. Tiba-tiba semua pembicaraan mengenai rara terhenti, bu Ria guru biologi datang dengan wajah datar seperti biasanya, dan bertanya “ada murid baru di kelas ini?”. Matanya tertuju pada Rara. “Iya bu baru datang dari planet lain”, jawab Bobi dengan sinisnya. “Kamu Rara ya, wah ibu sampai tidak mengenali kamu, kamu tampak berbeda sekali. Ya sudah sekarang kita ulangan”, bu Ria menghentikan komentarnya. Kelaspun sepi yang terdengar hanya suara kertas ulangan yang dibagikan.
Kirana Adisti Putri, teman-temannya biasa memanggilnya Rara. Dia adalah anak pengusaha di kota Bandung, yang terkenal punya suara bagus dan ikut menjadi anggota band disekolah. Dia murid kelas XI SMU swasta terkenal di kota hujan ini, Rara cerdas, cantik, nyaris sempurna, tapi terkenal sombong. Dia menyadari kelebihan pada dirinya, sehingga Rara sangat pemilih dalam bergaul.
Walaupun begitu Rara tidak membiarkan dirinya dipengaruhi perbuatan-perbuatan negatif teman-teman nongkrongnya, yang memang dari kalangan menengah keatas juga. Rara tidak merokok atau minum-minuman keras, dia hanya senang jalan, atau makan bareng teman-temannya, baginya kesibukan orang tuanya serta kurangnya perhatian orang tua tidak boleh jadi alasan seseorang menjadi salah langkah. Rara punya dasar pribadi yang positif, dia hanya salah memilih teman, sehingga tak ada yang bisa mengajak dia kepada perbuatan-perbuatan yang positif dan lebih bermanfaat.
Itulah yang dilihat Ridwan dari Rara. Ridwan adalah ketua OSIS SMU swasta dan juga anggota Rohis di tempat Rara sekolah, Ridwan memang sudah lama memperhatikannya, tapi dia enggan untuk mengenal Rara lebih dekat karena sikap Rara yang sombong. Sehingga Ridwan hanya bisa memperhatikan gadis itu dari jauh, walau Ridwan ingin sekali mengajaknya kepada hal yang lebih bermanfaat, serta menjauhkannya dari tindakan-tindakan berbahaya teman-temannya yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Terkadang Ridwan sendiri heran kenapa dia peduli pada Rara, “apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?” gumam Ridwan pelan…
Ridwan terus berusaha mencari cara agar Rara bisa sedikit demi sedikit menjauhi teman-temannya. Salah satunya jalan adalah mengajak dia untuk bergabung di Rohis. “Tapi bagaimana?”, dalam benaknya bertanya. Tanpa sengaja matanya melihat undangan seminar “Mengenal Musik Islami Diantara Musik-Musik Modern”, dalam rangka acara pensi di sekolahnya. “Yah mudah-mudahan Rara mau menghadiri seminar itu”, harap Ridwan.
Ridwan tahu siapa yang bisa dimintai tolong untuk mengajak Rara menghadiri seminar tersebut. “Ilma teman sebangku rara semoga bisa aku mintai tolong mengajak Rara agar bisa hadir di acara seminar”, pikirnya.
Ridwan lalu menemui Ilma untuk menyampaikan maksud dan tujuannya mengajak Rara agar bisa hadir di acara seminar itu. Ilma hanya tersenyum penuh arti menanggapi niat Ridwan, dan menyanggupi untuk menyampaikan undangannya.
Ilma menemui Rara ketika dilihatnya Rara sedang sendiri dibangku taman sekolah, “Assalamu’alaikum Ra, maaf nih ganggu”, kata Ilma memulai percakapan. “Waalaikumsalam, eh Ilma, ada apa?”, jawab Rara. “Ini Ra, rohis mau mengadakan seminar tentang musik Islami, dan aku mengundang kamu untuk hadir, karena aku tau kamu suka musik dan mungkin kamu tertarik untuk mengenal musik Islami”, lanjut Ilma dengan hati-hati. “Begitu aja Ra, dan aku senang kalau kamu bisa datang, assalamu’alaikum”. Ilma mengakhiri pembicaraan sambil tersenyum. “Waalaikumsallam”, jawab Rara.
Begitu tiba di dalam kamarnya, Rara langsung melempar tasnya, dan merebahkan badannya di atas tempat tidur berselimut kain biru langit. Undangan seminar masih dalam genggamannya. Dari sejak di mobil, undangan itu dibaca berulang-ulang, ada keinginan untuk hadir, tapi juga ada kekhawatiran dengan ejekan teman-temannya. “Aahh datang ga ya”, batin Rara. “Aku ingin datang... tapi nanti apa kata teman-teman”, gumamnya bingung.
Dalam kebimbangannya itu tiba-tiba terbersit wajah Ilma, “dia teman yang baik, pasti ajakannya itu juga bermaksud baik, kenapa aku ga coba untuk datang?”, batin Rara dengan yakin. “Acaranya besok, aku pakai baju apa ya, aku kan ga punya baju panjang”, Rara kembali diliputi kebingungan. “Bagaimana besok aja”, kata Rara sambil beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi.
Minggu pagi Rara sudah rapi, setelan celana jeans dengan kemeja lengan panjang warna coklat susu melekat di tubuhnya yang tinggi dan ramping. Bi Irah bingung melihat Rara yang sudah rapi, karena biasanya hari libur buat Rara itu hari bebas untuk bangun siang. “Bi ngapain bengong begitu, tar kemasukan laler”, ledek Rara. “Heran aja lihat neng Rara pagi-pagi sudah rapi, ga biasanya”, kata bi Irah sambil terus menyiapkan sarapan untuk Rara. “Hari ini aku ada acara di sekolah”, kata Rara menjawab kebingungan Bi Irah.
Sampai di sekolah, Rara langsung menuju masjid, dia tidak mau lama-lama di luar karena khawatir ada temannya yang melihat ikut acara seminar. “Assalamualaikum Rara”, sapa Ilma ketika melihat Rara memasuki pekarangan masjid. “Waalaikumsalam”, jawab Rara sambil menyambut tangan Ilma untuk bersalaman. “Yuk masuk, acara sudah mau dimulai”, ajak Ilma.
Sampai di dalam masjid Rara langsung duduk dan tidak menghiraukan tatapan para peserta seminar yang memang mereka semua mengenakan jilbab, kecuali dirinya. Rara duduk di samping akhwat yang cantik, kulitnya putih, senyumnya manis. Dia kagum karena perempuan secantik ini malah menutupi kecantikannya di balik jilbab warna biru muda. Padahal di luar sana banyak teman-temannya berlomba memamerkan kecantikan yang tidak seberapa dibanding perempuan di sebelahnya.
Acara dimulai, MC mulai membacakan susunan acara seminar. Rara seperti tidak asing ketika melihat siapa yang membawakan acara tersebut. “Diakan Ridwan ketua OSIS”, gumam Rara. “Jadi dia anggota rohis juga”, katanya dalam hati. Dan ketika lebih diperhatikan oleh Rara, “eh ternyata dia ganteng juga ya”, batinnya sambil senyum-senyum.
Seselesainya acara seminar, Rara langsung pulang. Di sepanjang perjalanan pulang Rara terus memikirkan tentang kegiatan yang diadakan Rohis tadi. Acaranya bagus, penyajianya menarik, dan anggota Rohis juga orang-orang yang kelihatan santun. “Aku ingin belajar agama seperti mereka, sepertinya pergaulan merekapun baik”, gumam Rara.
Rara sudah bertekad ingin memperbaiki diri dengan mendalami Islam, karena itu dia menyampaikan maksud hatinya kepada Ilma.
Esoknya di sekolah, Rara langsung menemui Ilma, dan Ilma memperkenalkan Ilma dengan Teh Santi. Ternyata Teh Santi itu perempuan cantik yang duduk di sebelahnya waktu acara seminar kemarin. “Ra, ini Teh Santi yang akan jadi mentor kamu”, kata Ilma. “Aku Rara”, kata Rara sambil menjabat tangan Teh Santi. “Senang kamu mau bergabung di rohis dan saya lebih senang kamu mau memperdalam Islam”, jawab Teh Santi sambil tersenyum dengan manisnya.
Itulah awal dari semua perubahan ini, Rara merenungi perjalanannya mendapat hidayah dari Allah. “Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (Q.S. Al-Qasas:56). Sekarang bagaimana mempertahankannya, karena kata Teh Santi mempertahankan lebih sulit dari pada memulai. “Orang tua aku merestui perubahanku, tapi bagaimana dengan teman-teman aku, apakah mereka akan jadi menjauhi aku?” kata Rara dalam hati.
“Aahh... hidupku sekarang lebih baik, hati aku lebih nyaman dan tenang, jadi buat apa aku memikirkan mereka, bahkan aku ingin mereka mengikuti jejak aku”, kata Rara dalam hati. “Dan sekarang bagaimana aku bisa mengajak mereka, semoga Allah memberikan juga petunjuk untuk teman-teman aku, aamiin”, dengan tulus Rara berdoa untuk teman-temannya.
Matahari sudah menampakan kegaranganya, semakin panas seperti membaranya semangat Rara untuk terus melangkah menuju hari-hari yang lebih baik dan dapat membawa manfaat. Dengan berjalan cepat Rara melangkah menuju mobil yang sudah menunggunya.
Di kejauhan nampak sepasang mata yang penuh harapan dan cinta terus memperhatikanya, “Ya Allah tolong jaga Rara untuk aku, titip cinta aku untuknya, jadikan dia jodoh aku, semoga dia adalah warna yang akan menghiasi hari-hariku” pelan Ridwan berdoa dan memohon kepada Sang khaliq yang Maha Tau isi hati hambanya...Dengan senyum penuh kebahagiaan, Ridwan pun melangkah meninggalkan halaman sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar